Beranda | Artikel
Orang Yang Tidak Niat Mukim Hukumnya Sama Dengan Musafir
Selasa, 5 Oktober 2004

PARA UTUSAN SAMA HUKUMNYA DENGAN MUSAFIR WALAU UNTUK BEBERAPA TAHUN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin ditanya : Kami termasuk kelompok yang diutus ke suatu negeri. Di antara kami ada yang diutus untuk satu tahun dan ada pula yang dua, tiga bahkan empat tahun. Maka ketika berpuasa, berlakukah untuk kami hukum yang sedang dalam perjalanan.?

Jawaban.
Hal diatas termasuk masalah yang diperselisihkan para cendekiawan dan ulama jumhur. Empat imam madzhab berpendapat bahwa mereka berkedudukan sebagai orang yang berada di tempatnya sendiri (muqimin), yakni tak berlaku hukum musafir, mereka wajib berpuasa sebagaimana mestinya, tak boleh mengqashar shalat dan tak boleh menyapu kedua sepatu selama tiga hari bahkan satu hari sekalipun. Sedangkan sebagian ulama menganggap mereka berada pada hukum orang yang sedang dalam perjalanan (musafir). Pedapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim dengan memegang zahirnya nas yang tidak menentukan jarak tempuh suatu perjalanan.

Konon Ibnu Umar sempat bermukim selama enam bulan di Azerbeizan dan selama itu beliau mengqashar shalatnya. Pendapat ini jelas paling kuat. Tetapi siapa yang kesulitan namun ia tetap memegang pendapat jumhur, maka baginya tak jadi masalah. Inilah menurut pendapat kami dan Ibnu Taimiyyah.

ORANG ASING YANG TIDAK BERNIAT MUKIM SAMA KEDUDUKANNYA DENGAN MUSAFIR. PUASA WAJIB BAGI MEREKA YANG BERNIAT MUKIM SELAMANYA DI NEGERI ORANG.

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-utsaimin ditanya :Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta alam, Dia-lah yang berhak dipuji karena kemualian-Nya dan keagungan-Nya. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad benar-benar hamba-Nya dan Rasul-Nya. Kedamaian dan keselamatan semoga dilimpahkan kepada para keluarganya, sahabatnya serta para pengikutnya.

Dalam majalah al-Muslimin terbitan hari Sabtu, 28 Sya’ban 1405H terdapat jawaban singkat tentang keringanan (rukhsah) bagi mereka yang diutus ke suatu negeri. Dari jawaban tersebut diterangkan bahwa mereka sama dengan musafir, yakni mereka berhak melakukan qashar shalat, berbuka puasa dan menyapu sepatu selama tiga hari. Karena jawaban tersebut terlalu singkat, maka saya dipinta oleh kawan-kawan untuk menyajikannya lebih luas. Maka dengan memohon taufik dan hidayah Allah, saya kabulkan permintaan tersebut.

Orang yang meninggalkan negerinya ada tiga macam :

1. Berniat untuk menetap di negeri yang disinggahinya dengan tanpa waktu dan tujuan tertentu yang pasti, seperti yang dilakukan para pekerja, para pedagang atau lainnya. Maka bagi mereka berlaku hukum yang sama dengan penduduk setempat ; wajib puasa di Ramadhan, tak boleh qashar shalat dan hanya berhak menyapu kedua sepatu sehari semalam saja.

2. Berniat untuk bermukim dalam waktu dan tujuan tertentu namun tak diketahui pasti kapan mereka akan pulang ke negerinya, contohnya seperti para pedagang yang datang dan pergi untuk membeli barang atau para peneliti pemerintahan yang tak diketahui kapan berakhirnya tujuan mereka hingga kembali ke negerinya masing-masing. Maka mereka termasuk kelompok musafir, boleh berbuka puasa, qashar shalat dan menyapu kedua sepatu selama tiga hari walau perjalanan tersebut beberapa tahun lamannya. Inilah pendapat jumhur ulama bahkan menurut Ibnu Mundhir termasuk ijma’.

3. Berniat untuk bermukim dalam waktu dan tujuan tertentu yang diketahui pasti masa berakhirnya untuk pulang ke negerinya masing-masing, maka status mereka yang demikian itu masih diperselisihkan ulama. Pendapat terkenal dari madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa jika niat mukimnya lebih dari empat hari, maka shalat tetap harus dilakukan sebagaimana mestinya. Jika niat mukimnya kurang dari empat hari, maka shalat boleh di qashar. Menurut penyusun kitab al-Mughni (Jld. II, hal. 288) pendapat tersebut berasal dari Imam Malik, As-Syafi’i dan Abu Tsur. Konon pendapat ini diterima dari Utsman bin Affan.

Al-Tsaury dan para pemikir (ashab al-ra’y) berpendapat bahwa jika seseorang niat bermukim selama 15 hari mulai dari hari pertama, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya. Dan jika kurang dari 15 hari, maka shalat boleh diqashar. Disamping itu, masih ada beberapa pendapat sebagaimana dikemukakan oleh An-Nawawi dalam Syarah Al-Muhadzdzhab (Jld. IV, hal 220) sebanyak sepuluh pendapat yang saling bertentangan namun tak ada nas yang dapat menentukannya. Oleh karena itu, Syaikh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim berpendapat bahwa mereka bersetatus sebagai musafir dan berhak untuk berbuka puasa, qashar shalat dan menyapu kedua sepatu selama tiga hari (Lihat Majmu al-Fatawa, Jam’u Ibnu Qasim, hal. 137-138,184, jld 24, al-Ikhtiyarat, hal. 73; Zadul Maad, Ibnul Qayyim, hal. 29, III, tentang perang Tabuk. Dalam al-Furu’ Ibnu Muflih, salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Timiyyah, setelah mengemukakan silang pendapat, mengatakan jika seseorang beniat mukim lebih dari empat hari, maka menurut Syaikhuna dan yang lainnya, ia dipandang sebagai musafir dan berhak atas qashar dan berbuka bila belum pasti untuk bermukim umpamanya hanya untuk berbuang hajat. Terjadinya pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdullah bin Syaikh al-Islam Muhammad bin Abdul Wahhab pada kitab al-Durar al-Saniyyah, IV, hal, 372-375. Juga dipilih oleh Muhammad Rasyid Ridla, jld III, hal. 1180 dalam Fatawa al-Manar ; oleh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’ady, hal. 47 dalam al-Mukhtayarat al-Jaliyyah. Pendapat ini termasuk pendapat yang paling tepat bagi yang memperhatikan nas Kitab dan al-Sunnah. Yakni mereka boleh berbuka puasa dan qadla, seperti yang berlaku bagi orang macam kedua di atas, tetapi berpuasa labih baik baginya jika tidak ada kesulitan. Namun tak patut qadla diakhirkan sampai tiba Ramadhan berikutnya, sebab akan sulit melaksanakannya. Sedangkan perbedaan kelompok ini (ketiga) dengan kelompok pertama, bahwa kelompok ini bermukim dengan tujuan tertentu. Maka mereka harus menunggu sampai waktu yang ditentukan dan jangan berniat mukim tanpa batas waktu (mutlak) bahkan mereka harus menolak untuk shalat sebagaimana mestinya (tetap harus qashar) bila tujuan tercapai lebih dulu dari waktunya dan mereka harus tetap berada di tempat mukim hingga batas waktu. Sedangkan macam kelompok pertama, bermukim tanpa batas waktu tertentu, maka mereka hendaknya tetap berada di tempat mukim tak perlu menunggu sesuatu kecuali jika terkena peraturan tertentu. Dalam hal ini Allah Yang Maha mengetahui. Barangsiapa yang telah mendapat kejelasan atas pendapat yang terkuat lalu mengamalkannya, maka ia benar. Begitu pula siapa yang belum mendapat keterangan yang terkuat namun tetap memegang pendapat jumhur, maka iapun benar, sebab masalah ini termasuk persoalan ijtihad, di mana hasilnya tetap dihargai ; jika benar mendapat dua pahala dan jika keliru mendapat satu pahala. Keliru itupun diampuni Allah :

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [Al-Baqarah/2 : 286]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Jika seorang hakim berijtihad dalam menetapkan hukum dan ternyata benar, maka ia mendapat dua pahala dan jika keliru maka mendapat satu pahala“.

Kami mohon kepada Allah semoga kami diberi taufik untuk mencapai kebenaran dalam aqidah, perkataan dan perbuatan, sebab Dialah Yang Maha Pemurah dan Maha Mulia. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya.

[Disalin dari buku 257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-Utsaimin, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 186-191 (Kelompok-Kelompok Manusia Dalam Berpuasa) terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1065-orang-yang-tidak-niat-mukim-hukumnya-sama-dengan-musafir.html